Selasa, 08 Februari 2011

Bahagiakah Hidup Kita?

Sulit rasanya untuk menjawab pertanyaan : apakah kita hidup bahagia di dunia ini? Banyak faktor penyebab kesulitan dalam menjawab pertanyaan tersebut. Tidak ada tolak ukur pasti yang dapat dijadikan sebagai patokan mengukur kebahagiaan hidup. Sebagian mengukur kebahagiaan hidup atas dasar banyaknya materi. Akan tetapi, banyak juga yang mengukur kebahagiaan dari sudut lain. Sebenarnya keadaan seperti apa yang dapat kita klaim sebagai hidup bahagia?

Hidup, baru benar-benar dapat dikatakan bahagia jika :

1. Memiliki hati yang selalu bersyukur.

Bersyukur berarti selalu menerima dengan ikhlas apa adanya. Tidak ada ambisi berlebihan yang hanya akan menambah sakit hati dan tekanan batin. Kalau memang adanya jambu mengapa harus mengharap apel?

Jika seseorang dengan sangat cerdas dapat memahami sifat-sifat Tuhan, maka dapat dikatakan ia pandai bersyukur. Apapun yang telah diberikan Tuhan kepadanya, baik itu yang diinginkan atau sebaliknya tidak diharapkan, ia tidak mengeluh. Sebaliknya, ia terpesona dengan pemberian, keputusan, dan pilihan Tuhannya.

Jika sedang diuji oleh Tuhannya dengan berbagai kesulitan, tidak akan seorang yang pandai bersyukur akan mempersalahkan Tuhannya. Ia akan melihat dan memperhatikan bahwa sesungguhnya masih sangat banyak orang lain yang lebih sulit dan susah darinya. Sebaliknya, bila ia diuji dengan berbagai kemudahan, ia tidak akan sombong. Ia justru akan lebih memperbanyak amal ibadah dan lebih mendekatkan diri kepada Tuhannya. Semakin bandel seseorang dalam bersyukur, maka Tuhannya akan lebih banyak mengujinya dengan berbagai kemudahan yang lebih besar. Ini ciri pertama orang bahagia.

2. Pasangan hidup yang soleh.

Tuhan telah menciptakan umatnya dengan berpasang-pasang, termasuk manusia. Mereka hidup berpasang-pasangan. Hanya saja tidak semua pasangan merupakan pasangan yang solehah. Bisa jadi seorang suami soleh memiliki pasangan yang tidak solehah, atau sebaliknya. Pasangan yang soleh atau solehah akan dapat menciptakan suasana rumah tangga yang soleh-solehah pula. Apa gunanya banyak harta, tinggi kedudukan, terpandang status sosialnya jika di dalamnya terbangun oleh unsur-unsur keluarga yang tidak soleh-solehah? Tentunya rumah bukan sebagaimana layaknya surga, justru sebaliknya, sebagaiaman neraka adanya.

Jika seorang suami menyadari dengan sungguh-sungguh bahwa nantinya oleh Tuhannya akan dimintai pertanggungjawabannya dalam memimpin anak-istri, istri akan dimintai pertanggungjawabannya dalam melayani suami dan mendidik anak, pastilah mereka akan berusaha dengan sekuat tenaga untuk menjadi pasangan yang soleh-solehah. Bukankah hidup ini akan menjadi membahagiakan jika pasangan kita merupakan pasangan yang soleh-solehah?


3. Anak yang soleh.

Menjadi anak soleh ternyata tidak semudah mengucapkannya. Implemetasi kesolehan seorang anak kepada orang tuanya akan sangat sulit dicapai mengingat seberapa besar usaha kita sebagai anak untuk membalas cinta orang tua kepada kita tidak bakalan akan terbalaskan. Bahkan, dengan terus-menerus menggendongnya pada masa tuanya sekalipun. Sebegitu tulusnya orang tua merawat, membesarkan, dan mendidik anaknya.

Akan tetapi,setidaknya, minimal, kita bisa memulainya dengan terus-menerus berusaha untuk menjadi anak soleh. Mengingat, doa anak yang soleh kepada orang tuanya dijamin akan dikabulkan oleh Tuhan. Bukankah ini kebahagiaan yang luar bisa bagi kita.

4. Lingkungan yang kondusif untuk iman kita

Lingkungan kita yang paling banyak member pengaruh kepada kita adalah manusia lain. Lingkungan yang kondusif maksudnya adalah orang-orang di sekitar kita. Sering kita menyebutnya sebagai sahabat. Kekeliruan dalam memilih sahabat bisa jadi akan mendorong kita jauh dari kebahagiaan.

Sungguh hidup ini akan menjadi lebih indah jika kita banyak sahabat. Dengan catatan untuk menjadikan sahabat-sahabat tersebut sahabat karib kita harus selektif dengan mematok criteria bahwa sahabat tersebut haruslah orang-orang yang memiliki nilai tambah terhadap keimanan kita. Sahabat karib yang baik bukanlah sahabat yang selalu membenarkan kata-kata kita, melainkan sahabat karib yang selalu berkata benar. Sahabat karib yang benar adalah sahabat akan selalu mengajak kepada kebaikan dan mengingatkan bila kita berada di tepi jurang kesalahan.

Sahabat karib yang baik adalah orang-orang bahgia karena nikmat keimanan terpancar pada cahaya wajahnya yang pada gilirannya dapat menyinari orang-orang di sekitarnya, termasuk kita. Nikmat, kan jika yang berada disekeliling kita orang-orang yang member sinar terang kepada kita?

5. Harta yang halal.

Pernahkah kita merasa bahwa Tuhan tidak pernah mengabulkan doa-doa yang selalu kita panjatkan? Jangan-jangan doa-doa itu kita panjatkan dari tempat tinggal yang di dalamnya banyak barang haram. Makanan haram, minuman haram, atau mungkin pakaian haram baik haram menurut sifatnya maupun menurut cara mendapatkannya.

Paradigma agama mengenai harta, bukanlah banyaknya, melainkan halalnya. Dari halalnya harta yang dimiliki akan sangat mudah Tuhan mengabulkan doa. Bahkan, harta yang halal, berapa pun jumlahnya, sesedikit apa pun jumlahnya akan menjauhkan setan dari hati pemiliknya. Bila setan jauh dari hati, niscaya akan bersih, suci, dan kokohlah hati, sehingga akan member ketenangan dalam hidup. Pingin bahagia? Jagalah selalu dengan teliti kehalalan harta.

6. Semangat untuk memahami agama.

Semangat memahami agama diwujudkan dalam semangat memahami ilmu-ilmu agama. Semakin seseorang belajar ilmu agama, maka semakin ia akan terangsang untuk belajar lebih jauh lagi ilmu mengenai sifat-sifat Tuhan dan ciptaan-Nya. Bukankah Tuhan telah menjanjikan akan melebihkan derajat bagi orang-orang yang berilmu? Mengapa? Karena, semakin seseorang mempelajari ilmu agama, maka akan semakin cinta ia kepada agamanya. Semakin tinggi cintanya kepada Tuhannya.

7. Umur yang barokah.

Menjadi tua itu pasti. Akan tetapi, tidak semua orang bisa menjadi dewasa. Umur dikatakan barokah jika semakin bertambah umur, semakin bertambah dewasa dan soleh.

Umur yang tidak barokah akan diisi dengan kebahagiaan hidup dunia semata. Banyak bernostalgia dengan kenangan masa muda. Kecewa dengan ketuaannya sehingga terjangkit penyakit Post-power Syndrome. Selalu sibuk dengan memfokuskan pikiran pada masalah bagaimana cara menikmati sisa hidupnya. Otaknya penuh dengan angan-angan terhadap kenikmatan dunia yang belum dicapai dan dirasakannya. Ia akan sangat kecewa jika belum mampu menikmati kenikmatan yang diangankannya.

Orang yang bahagia, semakin tua semakin soleh, setiap waktunya penuh dengan amal ibadah. Banyak mempersiapkan diri untuk akhirat. Semakin rindu untuk bertemu dengan Sang Pencipta. Ia sibuk bermesraan dengan Sang Maha Pengasih. Tidak ada rasa takut sama sekali untuk meninggalkan dunia ini. Bahkan, ia gembira, penuh harap untuk segera merasakan keindahan alam kehidupan selanjutnya sebagaimana janji Tuhannya.

Adakah indikator kebahagiaan hidup di dunia sebagaiamana yang terurai di atas pada kita? Hanya kita yang tahu. Jika masih banyak indikator yang belum tercapai, sudah selayaknya mulai saat ini kita persering dan perkhusyu’ dalam berdoa. Walaupun kita akui sulit mendapatkan ketujuh hal itu ada di dalam genggaman kita, setidak-tidaknya kalau kita mendapat sebagian saja sudah patut kita syukuri.

1 komentar:

  1. Bagus sekali mas, 7 indikasi tanda2 orang yang hidup bahadia di dunia dan pasti juga bakal bahagia di akhirah....hasanah fi dunnya wal akhirah.... memang selayaknya dimulai sejak sebelum menikah, mencari pasangan yang sholih / sholihah dan bekerja di tempat bersih yg disana tidak ada kebohongan2 berlangsung walau kadang tampak dari luar sebagai institusi resmi yg bergengsi..namun bila di dalamnya banyak penyimpangan seyogyanya tidak ikut terseret permainan yg ada di dalamnya. Dan ini sungguh berat di zaman ini..karena hampir tidak jelas yg haq dan yg bathil........ Selamat bagi yg mampu menghindari hal2 yg subhat di lingkungan tempat bekerjanya....Kebumen, 12.04.2011---05.37

    BalasHapus