Selasa, 08 Februari 2011

Bahasa Jawa Pantura

Pada hakikatnya bahasa merupakan alat komunikasi. Berhahasa adalah berkomunikasi. Hakikat berkomunikasi adalah proses penyampaian pesan, bukan sistem penyampaian pesan. Berhasil tidaknya berkomunikasi bergantung pada sampai-tidaknya informasi yang disajikan, bukan rapi-tidaknya sistem komunikasi yang digunakan.

Salah satu bahasa daerah di Indonesia yang bisa dikatakan ”paling banyak” penggunanya adalah bahasa Jawa. Bahasa yang tumbuh dan berkembang di lingkungan suku Jawa yang mendiami hampir di seluruh pelosok pulau Jawa, bahkan pulau lain di Indonesia.

Bahasa Jawa merupakan bahasa unik yang memiliki sistem yang khas. Sistem yang mungkin tidak dimiliki oleh bahasa lain. Sistem yang disebut unggah-ungguh, yang memperhitungkan tataran sosial, usia, dan status. Ada kemungkinan sistem unggah-ungguh ini merupakan pengaruh dari cara pergaulan keraton yang menjunjung tinggi perbedaan status.

Harus diakui bahwa pusat perkembangan bahasa Jawa adalah di daerah keraton dan sekitarnya. Daerah keraton dan sekitarnya yang dimaksud`adalah daerah Yogyakarta dan Surakarta. Di daerah tersebut, bahasa Jawa bisa berkembang sesuai dengan sistem bahasa Jawa standar. Kosakata yang berkembang pun kosakata bahasa Jawa standar pula.

Di lingkungan sosial masyarakat Jawa dikenal istilah adoh ratu cedhak watu yang dapat diterjmahkan dengan ”jauh dari raja ( lingkungan istana ), tetapi dekat dengan gunung”. Maksudnya, masyarakat Jawa tersebar tidak hanya sebatas di lingkungan keraton dan sekitarnya. Akan tetapi, mereka berada di gunung dan pantai yang dalam pergaulan kesehariannya jauh dari pengaruh keraton.

Masyarakat yang jauh dari pergaulan keraton, khususnya yang berada di pantai dan lebih khusus lagi pantai utara pulau Jawa yang biasa dikenal dengan wilayah Pantura, juga menggunakan bahasa Jawa dalam kesehariannya. Dapat dikatakan juga bahwa bahasa Jawa bagi mereka merupakan bahasa pertama atau bahasa ibu. Namun, ditilik dari keragaman kosakata maupun sistemnya, bahasa Jawa yang mereka gunakan berbeda dengan bahasa Jawa yang digunakan masyarakat Jawa di sekitar keraton. Walaupun perbedaan itu tidak terlalu mendasar.

Salah satu penyebab terjadinya perbedaan tersebut di antaranya adalah adanya dialek yang berbeda. Perbedaan yang disebabkan oleh dialek sesungguhnya bukan perbedaan yang mendasar. Perbedaan yang mendasar baru bisa terjadi apabila terjadi perbedaan persepsi dalam berbahasa. Perbedaan persepsi yang terjadi dalam masyarakat Jawa Pantura dengan masyarakat Jawa sekitar keraton dalam berbahasa adalah masyarakat Jawa Pantura lebih pragmatis jika dibandingkan dengan masyarakat Jawa sekitar keraton yang lebih normatif. Karena pragmatisnya itulah, maka masyarakat Jawa Pantura lebih menekankan sampainya informasi dari pada berkutat pada sistem.

Perbedaan persepsi inilah yang pada gilirannya memberi kesan ”seolah-olah” masyarakat Jawa Pantura lebih ”kurang ajar dan kasar” dibanding masyarakat Jawa sekitar keraton. Tentu saja pandangan ini ditilik dari kacamata masyarakat Jawa sekitar keraton.

Karena dianggap ”kurang ajar dan kasar” inilah, maka tidak sedikit masyarakat Jawa sekitar keraton tersenyum-senyum jika mendengar masyarakat Jawa pantura berbicara dengan menggunakan bahasa Jawa model Jawa Pantura. Dari arah timur Pantura ”kekurangajaran dan kekasaran” itu lebih menjadi-jadi jika bergeser ke arah barat dan berakhir di Brebes sebagai wilayah Pantura terbarat di Jawa Tengah.

Terlepas dari ”kurang ajar dan kasar” yang jelas masyarakat Jawa Pantura lebih komunikatif dengan penggunaan bahasa Jawa ala Pantura jika dibanding harus dipaksa menggunakan bahasa Jawa ala masyarakat Jawa sekitar keraton.

Sesungguhnya, ”kekasaran dan kekurangajaran” masyarakat Jawa Pantura dalam berbahasa Jawa jika ditilik dari kebiasaan berbahasa Jawa masyarakat Jawa sekitar keraton tidak lebih parah jika dibandingkan dengan pemaksaan penilaian Mata Pelajaran Bahasa Jawa di sekolah-sekolah dengan standar yang sama, yaitu standar bahasa Jawa masyarakat sekitar keraton. Bukankah itu tidak berbeda dengan mengukur jumlah batu dan air dengan alat ukur yang sama, misalnya dengan keranjang rotan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar