Rabu, 09 Februari 2011

Dongeng Negeri Pemimpi

Suatu ketika, tersebutlah sebuah negeri yang dihuni oleh para pemimpi. Negeri ini sangat subur. Segala macam tanaman dapat dengan mudah tumbuh di hampir semua bagian negeri. Bahkan, saking suburnya, sebagian kulit tubuh warga negeri pemimpi ditumbuhi semacam jamur sehingga bagian kulit tersebut meninggalkan bercak-bercak putih. Hal ini terjadi dan dapat terlihat dengan jelas karena rata-rata penduduk negeri pemimpi berkulit sawo matang, coklat, bahkan banyak yang kehitaman.
Kesuburan negeri pemimpi dilengkapi juga dengan kekayaan kandungan mineralnya. Hampir semua bahan tambang yang dibutuhkan menjadi hajat hidup orang banyak di seantero dunia ada di negeri pemimpi. Lengkaplah kekayaan alam yang dimiliki negeri pemimpi. Akan tetapi, ironisnya, sekalipun hidup di negeri yang subur makmur, mayoritas penduduk negeri pemimpi hidup tidak selayaknya kehidupan masyarakat yang tinggal di negeri subur. Kemakmuran belum dapat dinikmati oleh kebanyakan warga negeri pemimpi. Kemakmuran hanya dapat dinikmati oleh beberapa gelintir warga pemimpi.
Negeri ini menjadi negeri paling unik di dunia. Keunikannya tiada duanya. Keunikan yang benar-benar hanya ada di negeri pemimpi. Keunikan tersebut adalah semua warga negeri pemimpi, tidak terkecuali, hidup dengan dalam alam mimpi. Bukan mimpi selayaknya orang mimpi ketika sedang tidur. Tetapi, betul-betul bermimpi pada waktu terjaga. Dimulai dari Raja, Ratu, Patih, Panglima Perang, Pemimpin Agama, apalagi rakyat jelata.
Anehnya, mimpi yang dialami para warga negeri saling bertukar tempat antara warga yang satu dengan yang lain. Misalnya, warga negeri dari golongan buruh hidup dalam mimpi layaknya pemilik perusahaan. Sebaliknya, para pemilik perusahaan hidup dalam mimpi layaknya buruh. Para Pemimpin Agama hidup dalam mimpi layaknya seorang pendosa. Sebaliknya para pendosa hidup dalam mimpi layaknya seorang Pemimpin Agama. Yang lebih parah lagi, Raja, Ratu, Patih, Panglima Perang hidup dalam mimpi layaknya seorang rakyat jelata.
Di negeri pemimpi, orang tidak akan terkesima ketika tiba-tiba Raja, Ratu, Patih, atau salah satu Penglima Perang mereka berkunjung di suatu tempat, kemudian berperilaku layaknya rakyat jelata yang kelaparan. Masuk ke salah satu rumah penduduk, kemudian mengais-ngais makanan yang seharusnya menjadi hak rakyatnya. Uniknya lagi, rakyat yang rumahnya diacak-acak Raja, Ratu, Patih, atau salah satu Panglima Perangnya tidak akan tersinggung, marah, sedih, atau kecewa. Bahkan, sebaliknya mereka merasa bangga karena mimpinya menjadi kenyataan dapat memberi sebanyak-banyaknya kepada mereka. Ini akan menjadi modal untuk lebih menghidupkan mimpinya di hadapan warga yang lain dengan cara menceritakan peristiwa itu kepada mereka. Kalau perlu, agar lebih kelihatan hebat, cerita itu ditambah dengan bumbu-bumbu bombastis.
Yang lebih memprihatinkan lagi, unsur warga yang seharusnya menjadi ujung tombak pembentukan karakter, semisal Pemimpin Agama dan Guru, juga hidup dalam alam mimpi. Begitu juga objek pembentukan karakter, semisal Santri dan Siswa, juga hidup dalam alam mimpi.
Para Pemimpin Agama tidak menuntun warganya untuk dapat hidup agamis. Sebaliknya, sibuk mencari dan menumpuk kekayaan dengan cara “membodohi” umatnya. Dengan alasan untuk peribadatan, maka apapun kata Pemimpin Agama akan dituruti oleh warga sekalipun dengan keikhlasan semu, sekalipun dengan merugikan diri sendiri, sekalipun tahu bahwa hal itu bertentangan dengan ajaran agama yang sesungguhnya. Para Pemimpin Agama bermimpi bahwa mereka sudah lengkap menjalani ibadah dengan melaksanakan ritus-ritus membaca wirid dan yang lainnya yang ujung-ujungnya dapat mengantarkan mereka dapat mencapai derajad ma’rifat. Karena sudah mencapai tingkat ma’rifat, maka mereka begitu dekat dengan Tuhannya sehingga tidak perlu bersusah-susah menjalankan syari’at. Toh mereka sudah akrab dengan Tuhan.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, para santri akan dengan suka cita melakukan apapun yang diperintahkan Pemimpin Agamanya. Kalau perlu, mereka akan keluar-masuk kampung atau menghadang laju kendaraan yang melintas untuk mencari dana dengan alasan yang disahkan Pemimpin Agamanya. Apakah itu untuk pembangunan Masjid, Panti Asuhan, Musholla, Pondok Pesantren, atau alasan lain yang dilegalkan menjadi tabungan di alam lain kelak.
Para Guru juga tidak mau ketinggalan untuk bermimpi. Mimpi indah yang melenakan kewajibannya untuk membentuk karakter warga negeri pemimpi. Mereka ikut tersesat di alam mimpi. Bukannya menyesatkan peserta didiknya untuk kembali ke alam jaga. Bila sudah di depaan kelas, para guru merasa menjadi makhluk super yang serba tahu. Nyerocos ke sana ke mari tanpa ujung pangkal. Semangat berorasinya akan lebih menjadi-jadi jika melihat para muridnya melongo. Ia tidak peduli melongonya para siswa karena benar-benar terpana, terpesona, terkesima, atau keheranan dengan tingkahnya.
Karena merasa sudah menjadi makhluk super yang serba tahu, maka para guru akan dengan mentah-mentah menolak perubahan. Baginya, perubahan adalah kekeliruan. Kebenaran hakiki baginya adalah kebiasaannya. Ia sudah sakti dengan kebiasaannya. Saking saktinya ia tidak merasa perlu untuk menengok hal-hal di luar dirinya yang ternyata sudah berubah melesat jauh meninggalkan warga negeri pemimpi. Bagi para Guru di negeri pemimpi, tugasnya hanya duduk di depan kelas, membual tentang materi pelajarannya, meninabobokkan para siswanya dengan gambaran-gambaran abstrak, dengan merasa tidak ikut bertanggung jawab atas pembentukan karakter para siswa
Para siswa akan merasa sudah lengkap jika setiap hari bisa datang ke kelas, bergurau dengan teman sambil menunggu bel sekolah pulang. Di sepanjang hari di sekolah, sambil menunggu bel sekolah berbunyi, tak henti-hentinya mereka membenahi riasan wajah dan sibuk dengan handphone-nya. Penampilan mereka sudah bukan penampilan seorang siswa. Mereka datang, tinggal di sekolah, dan pulang dalam mimpi. Mimpi sebagai seorang artis, atau selebritis sebagaimana layaknya yang biasa ditayangkan di televisi-televisi negeri pemimpi. Televisi-televisi yang sengaja hanya memproduksi program-program untuk melanggengkan warga negeri pemimpi hidup dalam mimpi. Karena semakin mereka bermimpi, semakin laku semua tayangan mereka.
Sebetulnya, penguasa negeri pemimpi sudah memberi rambu-rambu bagi warganya. Termasuk Pemimpin Agama dan Guru. Akan tetapi, karena sekali lagi ini negeri pemimpi, maka seluruh warganya bermimpi seolah-olah rambu-rambu tersebut sudah dijadikan pedoman. Padahal, kenyataannya sebaliknya.
Semua lini di negeri pemimpi ini memang sudah benar-benar merasa nyaman hidup dalam mimpi. Warga yang tidak hidup dalam mimpi justru menjadi aneh di mata warga yang lain. Karena merasa nyaman, maka tidak ada satu pun warga negeri pemimpi ini yang ingin membangunkan warga agar terjaga dari mimpinya. Entah sampai kapan warga negeri pemimpi akan terjaga dari kehidupan mimpinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar