Rabu, 09 Februari 2011

Merdeka...

Sebentar lagi bulan Agustus tiba, Agustus merupakan bulan keramat, khususnya bagi masyarakat Indonesia.

Kekhususan bulan Agustus lebih disebabkan karena pada bulan itu, pada tahun 1945, bangsa ini memproklamasikan kemerdekaan dari cengkeraman penjajah Jepang. Kemerdekaan yang konon kabarnya harus ditebus dengan berbagai pengorbanan dalam jangka waktu yang sangat panjang dari penjajah yang berganti-ganti. Bukan hanya dari penjajah bangsa Jepang.

Heroisme para pahlawan kemerdekaan waktu itu, pada saat ini menjadi hanya sekedar cerita tanpa jiwa. Hambar, tanpa rasa. Bersifat “konon kabarnya”. Generasi muda Indonesia sebagai penerus bangsa yang tidak pernah terlibat langsung dalam pahit getirnya perjuangan mencapai kemerdekaan bisa dengan mudahnya menganggap enteng penderitaan para pejuang bangsa.

Sejarah mencatat bahwa kemerdekaan Indonesia dari cengkeraman penjajah bisa berlarut-larut hingga ratusan tahun. Salah satunya disebabkan oleh tidak adanya persatuan antarunsur bangsa. Masing-masing berjuang menurut cara masing-masing tanpa koordinasi. Hal ini tentu saja dapat dimaklumi mengingat begitu luasnya wilayah Indonesia dan begitu beranekaragamnya bangsa Indonesia.

Luas Indonesia tidak hanya berupa daratan saja. Akan tetapi, berbagai wilayah itu dibatasi oleh luasnya lautan. Beratus-ratus, bahkan beribu-ribu pulau menjadi wilayah Indonesia. Beranekaragamnya bangsa Indonesia tidak hanya sekedar beraneka ragam sukunya belaka. Akan tetapi, beraneka ragam budaya, bahasa, agama, tradisi, adat istiadat, kebiasaan, dan sebagainya. Itulah sebabnya mengapa koordinasi perjuangan dalam pengusiran penjajah sulit diciptakan.

Perjuangan sepotong-sepotong dalam waktu yang panjang di areal seluas wilayah Indonesia tentu saja memudahkan para penjajah untuk lebih menancapkan kuku kekuasaannya di negeri ini.

Kesadaran akan pentingnya persatuan,kesatuan, dan persamaan visi dalam perjuangan kemerdekaan baru muncul justru setelah beberapa pemuda pelopor Indonesia ”mengambil keuntungan” dari kekejian rezim penjajah dengan ”membuang” mereka ke berbagai tempat. Justru dengan ”pembuangan” mereka memperoleh pendidikan, dan justru dengan perolehan pendidikan itu mereka mendapat pemahaman akan arti pentingnya persatuan, kesatuan, dan persamaan visi perjuangan.

Tentu saja untuk meraih persatuan, kesatuan, dan kesamaan visi pada waktu itu, bahkan waktu sekarang, tidak semudah membalik tangan. Pada intinya, di samping harta, benda, perasaan, bahkan nyawa sekalipun, perjuangan mencapai kemerdekaan tersebut tidak terlepas dari adanya persatuan, kesatuan, dan persamaan visi perjuangan. Ini merupakan ”perekat” bangsa Indonesia untuk meraih kemerdekaan waktu itu. Sebuah perekat bagi bangsa yang begitu heterogen unsur-unsurnya.

Kalau saat sekarang kita melihat carut-marutnya bangsa ini setelah 63 tahun merdeka dan makin habisnya generasi pelaku perjuangan kemerdekaan, kita akan merasa miris. Negara Indonesia yang terdiri dari berbagai unsur bangsa dan luas wilayahnya, bisa-bisa akan kembali seperti pada masa lalu. Masa masing-masing unsur bangsa tidak peduli akan arti pentingnya persatuan, kesatuan, dan persamaan visi perjuangan. Yang tinggal hanya unsur bangsa yang lebih mementingkan pemenuhan kebutuhan pribadi yang bahkan pemenuhan kebutuhan kelompoknya pun terabaikan.

Jika bangsa ini masih menghendaki keutuhan negeri tercinta ini, maka mau tak mau ”perekat” yang tinggal satu-satunya ini harus tetap dipertahankan. Sebab, beberapa peristiwa yang menjrus akan adanya disintegrasi sudah banyak muncul. Terlepas itu memang sengaja dengan tujuan disintegrasi ataupun tidak menyadari bahwa hal itu akan menjurus pada disintegrasi.

Kebebasan yang kebablasan yang berkedok pada implementasi demokrasi; pemahaman tentang demokrasi secara praktis yang lebih menekankan pada kebebasan berkehendak, bahkan kebebasan memaksakan kehendak pada sebagian besar unsur bangsa ini, perlu diluruskan.

Kalau mau belajar dari sejarah, maka sudah sepatutnya bangsa ini memahami betapa besarnya arti pendidikan dalam rangka mendewasakan bangsa ini. Pendidikan yang berakar pada kepribadian bangsa, bukan pendidikan yang hanya sekedar asal comot dari sistem bangsa lain. Sayangnya, tidak sedikit pengambil keputusan di negeri ini yang menyadari sepenuhnya akan arti pentingnya pendidikan dalam rangka mempertahankan keberlangsungan hidup bangsa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar