Rabu, 09 Februari 2011

Nostalgia

Orang bilang bahwa salah satu ciri orang yang tidak bahagia adalah orang selalu, dalam arti, suka bernostalgia. Bernostalgia dapat dimaknai sebagai menggugah kembali, menghidupkan kembali peristiwa-peristiwa lama. Biasanya peristiwa lama yang didupkan kembali adalah peristiwa-peristiwa yang menyenangkan, membanggakan,menggairahkan, yang tidak mungkin dapat dicapai kembali saat ini.

Saya terlarut dengan pemahaman tersebut dalam arti betul mengamini. Oleh karena itu, saya selalu berusaha untuk tidak membangunkan kenangan lama. Langkah lebih jauh lagi adalah dengan selalu mencoba untuk tidak terlalu mendokumentasikan peristiwa seistimewa apapun dalam hidup. Tentu saja upaya ini tidak mudah, karena saya tdiak hidup sendiri. Saya berkeluarga. Saya bersaudara. Saya bermasyarakat.

Saking yakinnya dengan pemahaman tersebut, suatu ketika saya mendapat kesempatan yang menjadi idaman hampir setiap Muslim dan Muslimah. Musim Haji tahun 2009 saya mendapat panggilan untuk bisa bertamu ke Baitullah, Masjidil Haram di Makatul Mukaromah dan berziarah ke Makam sekaligus Masjid Nabi Agung Muhammad SAW di Madinatul Munawaroh. Alhamdulillah…

Begitu banyak peristiwa yang kami serombongan jumpai. Maklum 3 jutaan umat kumpul tumplek blek jadi satu di satu tempat dengan kegiatan yang sama, arah yang sama, pakaian yang sama, lafal-lafal yang nyaris sama. Tiga jutaan jamaah dari berbagai penjuru dunia membuka mata saya betapa beraneka ragamnya umat Allah yang tersebar di muka bumi ini. Aneka ragam bahasa. Aneka ragam postur dan warna fisik. Aneka ragam makanan pokoknya, dan aneka ragam-aneka ragam lainnya.

Mengingat keyakinan bahwa salah satu ciri orang yang tidak berbahagia adalah orang yang suka bernostalgia. Saya pun selalau berusaha untuk tidak ikut-ikutan teman-teman Jamaah lain untuk berfoto di tempat-tempat tertentu, membeli barang-barang tertentu di tempat tertentu, atau melakukan sesuatu yang nantinya membekas secara fisik. Pendek kata, dalam kesempatan yang tidak semua orang mendapat kesempatan seperti itu pun saya berusaha untuk tidak meninggalkan jejak nostalgia secara fisik. Bahkan, kepada anak-anak yang saya tinggalkan sebelum berangkat saya berpesan agar mereka tidak terlalu berharap mendapat oleh-oleh dari saya, selain Mushaf Al-Qu’an yang memang akan saya belikan langsung di percetakan Al-Qur’an di Madinah.

Pada beberapa kesempatan beberapa rekan Jamaah mengajak untuk berfoto. Tetapi, saya selalu berusaha menolak dengan halus. Sampai suatu ketika saya sempat terfoto oleh seorang teman.

Luar biasanya, karena untuk anak-anak saya betul-betul hanya membelikan Al-Qur’an, saya hati-hati betul merawat Al-Qur’an tersebut. Bahkan, 5 eksemplar Al-Qur’an (karena anak saya 5) tersebut saya tempatkan di tas tersendiri. Tidak saya masukkan di koper besar. Sampai masuk pesawat ketika pulang saya titipkan di loker pramugari. Turun dari pesawat, saya jinjing sendiri hingga masuk bis penjemput di Donohudan. Turun dari bis penjemput saya bawa sendiri ke Aula tempat pemulangan/pelepasan di Donohudan. Bahkan, saat Sholat di Donohudan masih saya letakkan di kursi lipat sebelah saya Sholat. Begitu naik bis penjemput dari kabupaten, 15 sampai 30 menit bis lepas dari Donohudan, saya terkesima. Al-Qur’an yang dengan hati-hati saya bawa untuk anak-anak tersayang di rumah tidak ada, hilang, entah tertinggal di mana. Saya sempat berpesan kepada awak bis, petugas haji kabupaten, orang-orang KBIH untuk menghubungi saya jika menemukan kembali Al-Qur’an tersebut. Tetapi sampai sekarang barang itu entah di mana.

Lebih luar biasanya lagi, foto yang hanya sekali-sekalinya di tanah suci waktu dicetak, pakaian yang saya kenakan tampak sangat jelas, tetapi wajah saya kurang begitu jernih. Wallahu’alam bissawab. Mungkin betul, untuk berbahagia bukan caranya dengan selalu bernostalgia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar